KAYA TANPA HARTA

Salah satu ketrampilan yang harus dimiliki dalam hidup ini adalah belajar mencukupkan diri. Jika setiap manusia yang ada di muka bumi ini bisa mencukupkan diri dengan apa yang ada, maka tidak ada namanya korupsi, manipulasi, eksploitasi, dan segala macam kejahatan kemanusiaan yang telah merenggut jutaan nyawa. Dalam kontek keseharian, rasa cukup ini sangat berdampak bagi kebahagiaan hidup pribadi maupun keluarga.
Yang namanya keserakahan adalah sifat bawaan sejak lahir. Diberi permen dua minta tiga. Dikasih tiga minta lima. Padahal permen yang di tangan belum dimakan. Orang jawa bilang “suka micik” atau selalu merasa kurang. Sifat itu bertumbuh kembang dalam lingkungan kapitalisme. Seperti yang pernah ditulis oleh Charles Long, “Capitalism is founded on greed and envy.” Kita ini secara tidak sadar telah dibesarkan oleh semangat materialisme yang merupakan produk kapitalisme. Lihat saja di pinggir jalan raya, begitu banyak papan reklame yang sangat persuasif. Tonton saja iklan di televisi yang sering membuat manusia lupa diri. Secara lambat namun pasti, kita telah dicekoki oleh paham yang mengatakan “harga dirimu sangat tergantung pada jumlah dan nilai harta yang engkau miliki.” Siapah diri kita ini sangat ditentukan oleh jenis kartu kredit yang ada di dompet ini, kelas platinum atau silver.
Manusia tidak pernah menyangka bahwa rasa tidak cukup itu bisa menjadi bencana. Tepat seperti kata Ann Kent bahwa kesedihan dan keserakahan itu tidak bisa dipisahkan. “Grief and greed are as inextricably entwined as love and marriage should be.” Hampir tiap hari kita mendapat suguhan gratis di kayar TV tentang kiprah orang serakah yang sekarang mendekam di hotel prideo. Bahkan banyak yang langsung menderita sakit ingatan. Setiap kali ditanya oleh hakim, mereka salalu menjawab “saya lupa”. Yang mengherankan, kaum serakah itu pada umumnya sudah masuk golongan orang kaya, berpangkat, punya jabatan dan bahkan menjadi pimpinan dan orang terpandang. Jarang sekali ada pemulung atau tukang becak yang tersangkut kasus korupsi. Mungkin karena mereka tidak punya kesempatan untuk melakukannya atau karena mereka sudah belajar mencukupkan diri dengan apa yang ada.
Sudah seharusnya ketrampilan “mencukupkan diri dengan apa yang ada” dimasukan dalam kurikulum sekolah dasar hingga universitas. Bahkan waktu mengadakan fit and proper test untuk para pejabat, salah satu kriteria utama adalah kemampuan mencukupkan diri dengan yang ada. Sehingga ketika mereka diperhadapkan dengan uang rakyat yang jumlahnya milyaran tidak sampai kaget. Sayang sekali, yang sering terjadi adalah kehilangan orientasi saat berhadapan dengan kesempatan. Banyak yang pakai aji mumpung hingga lupa diri bahwa kekayaan itu sifatnya sementara. Dan rejeki adalah anugerah dari yang Maha Kuasa. Jangan sampai menjadi terlalu rakus sehingga melanggar hati nurani dan menyakiti banyak orang.
Rasul Paulus juga belajar mencukupkan diri “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” kalau seorang rasul saja masih belajar mencukupkan diri,maka kita semua juga harus meneladani karakternya. Mereka yang hatinya tidak goyah pada waktu mendapatkan lebih atau hidup dalam kekurangan adalah orang yang hebat. Merekalah orang yang kaya hati. Kaya tanpa harta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda sangat membantu blog saya agar lebih maju terus,,thank you